Powered By Blogger

SALAM ..... SELAMAT DATANG / WELLCOME . .

Barack Zone / Kaum Kucel

Maret 21, 2011

Mengenali Hambatan-hambatan dalam Dialog Kehidupan






Tidak ada kehidupan tanpa hubungan-hubungan. Akan tetapi hubungan-hubungan kita banyak diwarnai oleh konflik dan perpecahan sehingga jarang kita menemukan keselarasan dalam kehidupan bersama. Mari kita bersama-sama bertanya, bisakah kita hidup dalam keselarasan total satu dengan yang lain di mana tidak ada dinding pembatas, tidak ada sekat pemisah? Bisakah kita hidup bersama dengan pemahaman yang mendalam akan masalah-masalah kehidupan yang kita hadapi bersama?

Dialog sebagai cermin mengenal diri
Untuk memahami berbagai masalah kehidupan bersama, kita membutuhkan suatu dialog yang benar. Dialog berfungsi seperti sebuah cermin di mana kita kita bisa melihat wajah orang lain dan wajah kita yang sesungguhnya.
Dalam era global seperti sekarang, laki-laki dan perempuan bisa mudah berinteraksi dengan berbagai cara. Meskipun membawa latar-belakang berbeda-beda, kita tidak sulit berjumpa secara real atau virtual, untuk menyanyi atau menari, untuk merayakan keindahan kehidupan. Akan tetapi ketika kita berkomunikasi dengan menulis atau berbicara tentang masalah-masalah kehidupan yang lebih dalam, tidak jarang cara kita berkomunikasi mudah menyulut perbantahan, konflik, dan bahkan kekerasan. Itu membuktikan adanya hambatan-hambatan dalam proses dialog dan tidak banyak orang mampu mengatasi hambatan-hambatan itu.
Kita tidak akan bisa berdialog secara benar kalau kita tidak menyadari hambatan-hambatan dalam berdialog. Untuk memahami masalah kehidupan dan berdialog tentang masalah kehidupan tertentu, kita musti bebas dari semua ide, teori, pengetahuan, pengalaman, kepercayaan. Semua itu justru merintangi proses dialog dan membatasi pemahaman total.
Kalau kita mau berdialog, Anda tidak bisa mengajukan ide dan saya mengajukan ide yang lain lalu kita berdebat. Kalau kita berdebat, masing-masing dari kita sudah memiliki teori tertentu dan dari posisi itu kita membangun argumentasi. Perdebatan tidak akan membuat kita memahami masalah kecuali hanya membuat kita merasa menang atau kalah.
Berdialog juga tidak sama dengan berdiskusi. Setelah kita sepakat memilih pokok bahasan tertentu, lalu kita mengumpulkan sebanyak mungkin teori yang relevan untuk menerangi masalahnya. Diskusi tidak akan membuat kita memahami masalah kehidupan kecuali hanya memuaskan pemahaman secara intelektual dan pemahaman intelektual atas suatu masalah selalu punya batas.
Berdialog juga tidak cukup hanya sekedar membagi pengalaman atau mengekspose serangkaian gagasan atau keyakinan. Anda berbicara tentang pengalaman Anda dan saya berbicara tentang pengalaman saya dan kita saling menghormati pengalaman masing-masing, tidak saling menyerang, mengritik, menolak atau menerima. Akan tetapi kita berhenti pada pengalaman kita masing-masing dan pengalaman itu kita jadikan otoritas baru dalam memahami kehidupan. Cara berdialog seperti ini tidak membawa kita memahami masalah-masalah kehidupan secara total.
Kita perlu menyadari dan mengeksplorasi prasangka-prasangka individual atau kolektif, ide-ide, kepercayaan, perasaan, nilai-nilai, maksud-maksud tersembunyi yang secara halus mengontrol cara kita berkomunikasi atau berinteraksi. Semua konflik berawal dari ketidaksesuaian respons kita terhadap tantangan. Selama respons kita bersumber dari pikiran, maka kita terus menciptakan konflik. Untuk keluar dari konflik, karenanya kita perlu keluar dari penjara otoritas pikiran.
Lewat dialog, kita menjadi sadar akan perbedaan-perbedaan persepsi pikiran dan perasaan yang bisa berbenturan kalau itu semata-mata menjadi penggerak interaksi. Maka dialog menjadi cermin dimana orang bisa belajar mengenal dirinya sendiri dan mengenal teman dialog. Dengan menyadari motif-motif di balik pikiran, terbuka kemungkinan terlahirnya cita-rasa inteligensi. Dari sini terbuka kemungkinan mekarnya keselarasan, persahabatan dan kreatifitas dalam hubungan-hubungan.

Hambatan dalam dialog inter-personal
Mari kita melihat bersama secara khusus hambatan-hambatan dalam dialog inter-personal dalam rangka memahami suatu masalah kehidupan. Hambatan paling besar dalam dialog inter-personal adalah kecenderungan untuk lebih banyak berbicara dan kurang mendengarkan.
Kata adalah �pikiran�. �Pikiran� yang dimaksud disini juga mencakup perasaan, keinginan, kehendak, harapan. Semakin banyak berkata-kata dan kurang mendengarkan, maka kita berkomunikasi satu arah dan kita cenderung memaksakan pikiran kita sendiri. Cara komunikasi seperti ini menjelma dalam berbagai bentuk hipnoses, propaganda atau pemaksaan.
Begitu mudah kita berkomunikasi hanya pada tataran ide atau intelek. Ketika kita menemukan kebenaran dari pendapat orang lain atau bahkan pendapat orang lain lebih sahih dari pendapat kita, kita cenderung mengambil alih ide-ide itu. Lalu ide-ide itu kita jadikan otoritas baru dalam memahami masalah. Akan tetapi opini tidak membuat kita keluar dari masalah.
Ketika orang lain berbicara, barangkali kita terlalu cepat mengambil kesimpulan, padahal kesimpulan itu tidak sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh orang lain, atau apa yang diinginkan orang lain. Kebanyakan dari kita mendengarkan dengan saringan tertentu. Maka kesimpulan yang kita ambil sebenarnya sudah ada sebelumnya di benak kita sebelum orang lain berbicara. Maka mendengarkan hanya bisa terjadi kalau tidak ada lagi otoritas pendengar.
Kita mudah menilai orang lain menurut kacamata pertimbangan-pertimbangan yang sudah terbentuk sebelumnya. Hubungan kita dengan orang lain meninggalkan pengalaman kenikmatan dan kepahitan. Lalu pengalaman itu kita bawa-bawa dan mempengaruhi hubungan kita selanjutnya. Maka pengalaman masa lampau ini mendistorsi kejernihan hubungan.
Kalau orang mencari kepuasan dalam hubungan, maka tidak jarang hubungan berakhir begitu mudah ketika tidak lagi memberikan kepuasan dan masih bertahan hanya selama memberi kepuasan. Dalam relasi pribadi seperti ini, orang lain dihargai bukan sebagai pribadi tetapi karena sesuatu yang dapat diperoleh dari dirinya.
Kita lalu mudah membenci apa yang tidak kita sukai dalam diri orang lain. Padahal hal-hal yang tidak kita sukai dalam diri orang lain adalah manifestasi dari hal-hal yang tidak kita sukai dalam diri kita sendiri.
Untuk bisa berhubungan secara mendalam dengan orang lain, kita perlu bercerai dengan diri kita sendiri. Artinya, kita musti tidak memihak pada ide atau pendapat tertentu, pada rasa suka atau tidak suka. Kalau kita terbelenggu oleh ide atau perasaan tertentu, maka kita cenderung melihat orang lain tidak sebagaimana adanya mereka, melainkan menurut penilaian atau gambaran kita. Jadi kita tidak berhubungan dengan orang lain tapi berhubungan dengan gambaran kita sendiri tentang orang lain.
Ketika kita memberi tanggapan kepada orang lain, tanggapan kita didasarkan pada pengandaian kita mengenai apa yang dikatakan oleh orang lain, bukan apa yang sesungguhnya mau dikatakan orang lain. Selama kita mendengarkan dengan memakai otorias tertentu, maka kita mudah terlalu cepat merasa mengetahui apa yang dibicarakan orang lain. Kita cenderung mengartikan kata-kata orang lain dengan arti yang kita miliki sendiri. Karenanya kita tidak sungguh-sungguh mendengarkan apa yang dikatakan orang lain dan kita jarang berbicara mengenai hal yang sama dan pada tingkatan yang sama.
Bagi kebanyakan orang, kehidupan menyimpan banyak masalah dan untuk memahami masalah ini dibutuhkan keterbukaan diri, kepekaan, kehati-hatian, kebebasan. Batin musti bebas, tidak ada proteksi diri atau resistensi diri. Batin tidak boleh terpiuh oleh prasangka-prasangka, perasaan, nilai-nilai, ide, teori, opini, pengetahuan, pengalaman, keyakinan, kepercayaan. Batin tidak boleh terbuai oleh kata-kata, mudah tunduk pada otoritas, mudah mengambil kesimpulan.
Dialog yang benar tidak cukup hanya berhenti pada pertukaran ide, tetapi musti berlanjut dan menembus batas-batas segala ide atau pikiran. Untuk bisa sungguh-sungguh berdialog, kita perlu pada saat yang sama mengenal diri sendiri. Bisakah lewat dialog Anda mengenal diri Anda sendiri dan Anda membantu teman dialog Anda mengenal dirinya sendiri? Bisakah Anda dan teman dialog Anda bersama-sama membongkar hambatan-hambatan itu sampai tidak ada lagi otoritas pembicara dan otoritas pendengar?
Mengenali hambatan-hambatan dialog dalam diri sendiri merupakan pintu pembuka penerangan batin. Dari sini terbuka kemungkinan persepsi langsung tentang realitas, daya terang tentang apa yang benar dan apa yang palsu, pemahaman total tentang masalah-masalah kehidupan yang kita perbincangkan.*

By J. Sudrijanta, SJ on January 12th, 2010,  http://gerejastanna.org/mengenali-hambatan-hambatan-dalam-dialog-kehidupan/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer