Tidak ada kehidupan tanpa
hubungan-hubungan. Akan tetapi hubungan-hubungan kita banyak diwarnai
oleh konflik dan perpecahan sehingga jarang kita menemukan keselarasan
dalam kehidupan bersama. Mari kita bersama-sama bertanya, bisakah kita
hidup dalam keselarasan total satu dengan yang lain di mana tidak ada
dinding pembatas, tidak ada sekat pemisah? Bisakah kita hidup bersama
dengan pemahaman yang mendalam akan masalah-masalah kehidupan yang kita
hadapi bersama?
Dialog sebagai cermin mengenal diri
Untuk memahami berbagai masalah kehidupan bersama, kita membutuhkan suatu dialog yang benar. Dialog berfungsi seperti sebuah cermin di mana kita kita bisa melihat wajah orang lain dan wajah kita yang sesungguhnya.
Untuk memahami berbagai masalah kehidupan bersama, kita membutuhkan suatu dialog yang benar. Dialog berfungsi seperti sebuah cermin di mana kita kita bisa melihat wajah orang lain dan wajah kita yang sesungguhnya.
Dalam era global seperti sekarang,
laki-laki dan perempuan bisa mudah berinteraksi dengan berbagai cara.
Meskipun membawa latar-belakang berbeda-beda, kita tidak sulit berjumpa
secara real atau virtual, untuk menyanyi atau menari, untuk merayakan
keindahan kehidupan. Akan tetapi ketika kita berkomunikasi dengan
menulis atau berbicara tentang masalah-masalah kehidupan yang lebih
dalam, tidak jarang cara kita berkomunikasi mudah menyulut perbantahan,
konflik, dan bahkan kekerasan. Itu membuktikan adanya hambatan-hambatan
dalam proses dialog dan tidak banyak orang mampu mengatasi
hambatan-hambatan itu.
Kita tidak akan bisa berdialog secara
benar kalau kita tidak menyadari hambatan-hambatan dalam berdialog.
Untuk memahami masalah kehidupan dan berdialog tentang masalah kehidupan
tertentu, kita musti bebas dari semua ide, teori, pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan. Semua itu justru merintangi proses dialog dan
membatasi pemahaman total.
Kalau kita mau berdialog, Anda tidak
bisa mengajukan ide dan saya mengajukan ide yang lain lalu kita
berdebat. Kalau kita berdebat, masing-masing dari kita sudah memiliki
teori tertentu dan dari posisi itu kita membangun argumentasi.
Perdebatan tidak akan membuat kita memahami masalah kecuali hanya
membuat kita merasa menang atau kalah.
Berdialog juga tidak sama dengan
berdiskusi. Setelah kita sepakat memilih pokok bahasan tertentu, lalu
kita mengumpulkan sebanyak mungkin teori yang relevan untuk menerangi
masalahnya. Diskusi tidak akan membuat kita memahami masalah kehidupan
kecuali hanya memuaskan pemahaman secara intelektual dan pemahaman
intelektual atas suatu masalah selalu punya batas.
Berdialog juga tidak cukup hanya
sekedar membagi pengalaman atau mengekspose serangkaian gagasan atau
keyakinan. Anda berbicara tentang pengalaman Anda dan saya berbicara
tentang pengalaman saya dan kita saling menghormati pengalaman
masing-masing, tidak saling menyerang, mengritik, menolak atau menerima.
Akan tetapi kita berhenti pada pengalaman kita masing-masing dan
pengalaman itu kita jadikan otoritas baru dalam memahami kehidupan. Cara
berdialog seperti ini tidak membawa kita memahami masalah-masalah
kehidupan secara total.
Kita perlu menyadari dan
mengeksplorasi prasangka-prasangka individual atau kolektif, ide-ide,
kepercayaan, perasaan, nilai-nilai, maksud-maksud tersembunyi yang
secara halus mengontrol cara kita berkomunikasi atau berinteraksi. Semua
konflik berawal dari ketidaksesuaian respons kita terhadap tantangan.
Selama respons kita bersumber dari pikiran, maka kita terus menciptakan
konflik. Untuk keluar dari konflik, karenanya kita perlu keluar dari
penjara otoritas pikiran.
Lewat dialog, kita menjadi sadar akan
perbedaan-perbedaan persepsi pikiran dan perasaan yang bisa berbenturan
kalau itu semata-mata menjadi penggerak interaksi. Maka dialog menjadi
cermin dimana orang bisa belajar mengenal dirinya sendiri dan mengenal
teman dialog. Dengan menyadari motif-motif di balik pikiran, terbuka
kemungkinan terlahirnya cita-rasa inteligensi. Dari sini terbuka
kemungkinan mekarnya keselarasan, persahabatan dan kreatifitas dalam
hubungan-hubungan.
Hambatan dalam dialog inter-personal
Mari kita melihat bersama secara khusus hambatan-hambatan dalam dialog inter-personal dalam rangka memahami suatu masalah kehidupan. Hambatan paling besar dalam dialog inter-personal adalah kecenderungan untuk lebih banyak berbicara dan kurang mendengarkan.
Mari kita melihat bersama secara khusus hambatan-hambatan dalam dialog inter-personal dalam rangka memahami suatu masalah kehidupan. Hambatan paling besar dalam dialog inter-personal adalah kecenderungan untuk lebih banyak berbicara dan kurang mendengarkan.
Kata adalah �pikiran�. �Pikiran� yang
dimaksud disini juga mencakup perasaan, keinginan, kehendak, harapan.
Semakin banyak berkata-kata dan kurang mendengarkan, maka kita
berkomunikasi satu arah dan kita cenderung memaksakan pikiran kita
sendiri. Cara komunikasi seperti ini menjelma dalam berbagai bentuk
hipnoses, propaganda atau pemaksaan.
Begitu mudah kita berkomunikasi hanya
pada tataran ide atau intelek. Ketika kita menemukan kebenaran dari
pendapat orang lain atau bahkan pendapat orang lain lebih sahih dari
pendapat kita, kita cenderung mengambil alih ide-ide itu. Lalu ide-ide
itu kita jadikan otoritas baru dalam memahami masalah. Akan tetapi opini
tidak membuat kita keluar dari masalah.
Ketika orang lain berbicara,
barangkali kita terlalu cepat mengambil kesimpulan, padahal kesimpulan
itu tidak sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh orang lain, atau apa
yang diinginkan orang lain. Kebanyakan dari kita mendengarkan dengan
saringan tertentu. Maka kesimpulan yang kita ambil sebenarnya sudah ada
sebelumnya di benak kita sebelum orang lain berbicara. Maka mendengarkan
hanya bisa terjadi kalau tidak ada lagi otoritas pendengar.
Kita mudah menilai orang lain menurut
kacamata pertimbangan-pertimbangan yang sudah terbentuk sebelumnya.
Hubungan kita dengan orang lain meninggalkan pengalaman kenikmatan dan
kepahitan. Lalu pengalaman itu kita bawa-bawa dan mempengaruhi hubungan
kita selanjutnya. Maka pengalaman masa lampau ini mendistorsi kejernihan
hubungan.
Kalau orang mencari kepuasan dalam
hubungan, maka tidak jarang hubungan berakhir begitu mudah ketika tidak
lagi memberikan kepuasan dan masih bertahan hanya selama memberi
kepuasan. Dalam relasi pribadi seperti ini, orang lain dihargai bukan
sebagai pribadi tetapi karena sesuatu yang dapat diperoleh dari dirinya.
Kita lalu mudah membenci apa yang
tidak kita sukai dalam diri orang lain. Padahal hal-hal yang tidak kita
sukai dalam diri orang lain adalah manifestasi dari hal-hal yang tidak
kita sukai dalam diri kita sendiri.
Untuk bisa berhubungan secara
mendalam dengan orang lain, kita perlu bercerai dengan diri kita
sendiri. Artinya, kita musti tidak memihak pada ide atau pendapat
tertentu, pada rasa suka atau tidak suka. Kalau kita terbelenggu oleh
ide atau perasaan tertentu, maka kita cenderung melihat orang lain tidak
sebagaimana adanya mereka, melainkan menurut penilaian atau gambaran
kita. Jadi kita tidak berhubungan dengan orang lain tapi berhubungan
dengan gambaran kita sendiri tentang orang lain.
Ketika kita memberi tanggapan kepada
orang lain, tanggapan kita didasarkan pada pengandaian kita mengenai apa
yang dikatakan oleh orang lain, bukan apa yang sesungguhnya mau
dikatakan orang lain. Selama kita mendengarkan dengan memakai otorias
tertentu, maka kita mudah terlalu cepat merasa mengetahui apa yang
dibicarakan orang lain. Kita cenderung mengartikan kata-kata orang lain
dengan arti yang kita miliki sendiri. Karenanya kita tidak
sungguh-sungguh mendengarkan apa yang dikatakan orang lain dan kita
jarang berbicara mengenai hal yang sama dan pada tingkatan yang sama.
Bagi kebanyakan orang, kehidupan
menyimpan banyak masalah dan untuk memahami masalah ini dibutuhkan
keterbukaan diri, kepekaan, kehati-hatian, kebebasan. Batin musti bebas,
tidak ada proteksi diri atau resistensi diri. Batin tidak boleh terpiuh
oleh prasangka-prasangka, perasaan, nilai-nilai, ide, teori, opini,
pengetahuan, pengalaman, keyakinan, kepercayaan. Batin tidak boleh
terbuai oleh kata-kata, mudah tunduk pada otoritas, mudah mengambil
kesimpulan.
Dialog yang benar tidak cukup hanya
berhenti pada pertukaran ide, tetapi musti berlanjut dan menembus
batas-batas segala ide atau pikiran. Untuk bisa sungguh-sungguh
berdialog, kita perlu pada saat yang sama mengenal diri sendiri. Bisakah
lewat dialog Anda mengenal diri Anda sendiri dan Anda membantu teman
dialog Anda mengenal dirinya sendiri? Bisakah Anda dan teman dialog Anda
bersama-sama membongkar hambatan-hambatan itu sampai tidak ada lagi
otoritas pembicara dan otoritas pendengar?
Mengenali hambatan-hambatan dialog
dalam diri sendiri merupakan pintu pembuka penerangan batin. Dari sini
terbuka kemungkinan persepsi langsung tentang realitas, daya terang
tentang apa yang benar dan apa yang palsu, pemahaman total tentang
masalah-masalah kehidupan yang kita perbincangkan.*
By J. Sudrijanta, SJ on January 12th, 2010, http://gerejastanna.org/mengenali-hambatan-hambatan-dalam-dialog-kehidupan/