Juni 10, 2011
Juni 09, 2011
Persepsi, apa itu?
Setiap orang berbicara selalu terselip
kata-kata persepsi dalam setiap obrolan mereka,
kadangkala kata persepsi digunakan dalam kalimat yang sebetulnya tidak
cocok. Nah, dunia
psikologi ingin sedikit membahas mengenai apa itu persepsi.
Mungkin pembaca bisa menambahkan tentang pengertian
persepsi.
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh
penginderaan, yaitu merupakan suatu proses yang diterima stimulus
individu melalui alat reseptor yaitu alat indera. Proses penginderaan
tidak dapat lepas dari proses persepsi. Alat indera merupakan penghubung
antara individu dengan dunia luarnya karena individu mengenali dunia
luarnya dengan menggunakan indera.Walgito (1997) menjelaskan pengertian persepsi merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera. Dengan kata lain persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Persepsi merupakan keadaan integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Apa yang ada dalam diri individu, pikiran, perasaan, pengalaman-pengalaman individu, akan ikut aktif berpengaruh dalam proses persepsi.
Sedangkan Gibson, dkk (1989) yang menyatakan definisi persepsi adalah proses kognitif yang dipergunakan oleh individu untuk menafsir dan memahami dunia sekitarnya (terhadap obyek), tanda-tanda dari sudut pengalaman yang bersangkutan. Dengan kata lain, persepsi mencakup penerimaan stimulus, pengorganisasian, dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang diorganisasikan dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap. Gibson, dkk (1989) juga menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu. Oleh karena itu, setiap individu akan memberikan arti kepada stimulus dengan cara yang berbeda meskipun obyeknya sama. Cara individu melihat situasi seringkali lebioh penting dari pada situasi itu sendiri.
Persepsi bersifat individual, meskipun stimulus yang diterimanya sama, tetapi karena setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda, kemampuan berfikir yang berbeda, maka hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi pada setiap individu. Taraf terakhir dari proses persepsi adalah individu menyadari apa yang diterima melalui alat indera atau reseptor.
Berdasarkan uraian tersebut disimpulkan, bahwa persepsi merupakan proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia kemudian diproses dan dikategorikan dalam suatu gaya tertentu atau dengan kata lain persepsi adalah interpretasi terhadap rangsangan yang diterima dari lingkungan yang bersifat individual, meskipun stimulus yang diterimanya sama, tetapi karena setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda, kemampuan berfikir yang berbeda, maka hal tersebut sangat memungkinkan terjadi perbedaan persepsi pada setiap individu.
Juni 03, 2011
10 Racun Psikologi Dalam Kehidupan Sehari2
10 racun psikologi dalam kehidupan sehari-hari
Racun pertama : Menghindar
Gejalanya, lari dari kenyataan, mengabaikan tanggung jawab, padahal dengan melarikan diri dari kenyataan kita hanya akan mendapatkan kebahagiaan semu yang berlangsung sesaat.
Antibodinya : Realitas
Cara : Berhentilah menipu diri. Jangan terlalu serius dalam menghadapi masalah karena rumah sakit jiwa sudah dipenuhi pasien yang selalu mengikuti kesedihannya dan merasa lingkungannya menjadi sumber frustasi. Jadi, selesaikan setiap masalah yang dihadapi secara tuntas dan yakinilah bahwa segala sesuatu yang terbaik selalu harus diupayakan dengan keras.
Racun kedua : Ketakutan
Gejalanya, tidak yakin diri, tegang, cemas yang antara lain bisa disebabkan kesulitan keuangan, konflik perkimpoian, problem seksual, dll…
Antibodinya : Keberanian
Cara : Hindari menjadi sosok yang bergantung pada kecemasan. Ingatlah 99 persen hal yang kita cemaskan tidak pernah terjadi. Keberanian adalah pertahanan diri paling ampuh. Gunakan analisis intelektual dan carilah solusi masalah melalui sikap mental yang benar. Keberanian merupakan proses reedukasi. Jadi, jangan segan mencari bantuan dari ahlinya, seperti psikiater atau psikolog.
Racun ketiga : Egoistis
Nyinyir, materialistis, agresif, lebih suka meminta daripada memberi.
Antibodinya : Bersikap sosial
Cara : Jangan mengeksploitasi teman. Kebahagiaan akan diperoleh apabila kita dapat menolong orang lain. Perlu diketahui, orang yang tidak mengharapkan apapun dari orang lain adalah orang yang tidak pernah merasa dikecewakan.
Racun keempat : Stagnasi
Gejalanya berhenti satu fase, membuat diri kita merasa jenuh, bosan, dan tidak bahagia.
Antibodinya : Ambisi
Cara : Teruslah berkembang, artinya kita terus berambisi di masa depan kita. Kita kan menemukan kebahagiaan dalam gairah saat meraih ambisi kita tersebut.
Racun kelima : Rasa rendah diri
Gejala : Kehilangan keyakinan diri dan kepercayaan diri serta merasa tidak memiliki kemampuan bersaing.
Antibodinya : Keyakinan diri
Cara : Seseorang tidak akan menang bila sebelum berperang, yakin dirinya akan kalah. Bila kita yakin akan kemampuan kita, sebenarnya kita sudah mendapatkan separuh dari target yang ingin kita raih.. Jadi, sukses berawal pada saat kita yakin bahwa kita mampu mencapainya.
Racun keenam : Narsistik
Gejala : Kompleks superioritas, terlampau sombong, kebanggaan diri palsu.
Antibodinya : Rendah hati
Cara : Orang yang sombong akan dengan mudah kehilangan teman, karena tanpa kehadiran teman, kita tidak akan bahagia. Hindari sikap sok tahu. Dengan rendah hati, kita akan dengan sendirinya mau mendengar orang lain sehingga peluang 50 persen sukses sudah kita raih.
Racun ketujuh : Mengasihani diri
Gejala : Kebiasaan menarik perhatian, suasana yang dominan, murung, menghunjam diri, merasa menjadi orang termalang di dunia.
Antibodinya : Sublimasi
Cara : Jangan membuat diri menjadi neurotik, terpaku pada diri sendiri. Lupakan masalah diri dan hindari untuk berperilaku sentimentil dan terobsesi terhadap ketergantungan kepada orang lain..
Racun kedelapan : Sikap bermalas-malasan
Gejala : Apatis, jenuh berlanjut, melamun, dan menghabiskan waktu dengan cara tidak produktif, merasa kesepian.
Antibodinya : Kerja
Cara : Buatlah diri kita untuk selalu mengikuti jadwal kerja yang sudah kita rencanakan sebelumnya dengan cara aktif bekerja. Hindari kecenderungan untuk membuat keberadaaan kita menjadi tidak berarti dan mengeluh tanpa henti.
Racun kesembilan : Sikap tidak toleran
Gejala : Pikiran picik, kebencian rasial yang picik, angkuh, antagonisme terhadap agama tertentu, prasangka religius.
Antibodinya : Kontrol diri
Cara : Tenangkan emosi kita melalui seni mengontrol diri. Amati mereka secara intelektual. Tingkatkan kadar toleransi kita. Ingat bahwa dunia diciptakan dan tercipta dari keberagaman kultur dan agama.
Racun kesepuluh : Kebencian
Gejala : Keinginan balas dendam, kejam, bengis.
Antibodinya : Cinta kasih
Cara : Hilangkan rasa benci. Belajar memaafkan dan melupakan.. Kebencian merupakan salah satu emosi negatif yang menjadi dasar dari rasa ketidakbahagiaan. Orang yang memiliki rasa benci biasanya juga membenci dirinya sendiri karena membenci orang lain. Satu-satunya yang dapat melenyapkan rasa benci adalah cinta. Cinta kasih merupakan kekuatan hakiki yang dapat dimiliki setiap orang.
Ketika kita sedang mengalami rasa depresi dan tidak bahagia, gunakan
cara diatas sebagai sarana pertolongan pertama dalam kondisi mental
gawat darurat demi terhindardari ketidakbahagiaan berlanjut pada masa
mendatang !!!
bohong dan kehidupan sosial //psikologi//
Maaf kepada Anda yang moralis dan percaya bahwa kebohongan adalah
penyimpangan berat dalam hidup manusia, karena ternyata kebohongan
adalah bagian dari hidup manusia sehari-hari. Bohong sama sekali bukan
peristiwa yang luar biasa atau langka. Dalam sebuah penelitian,
ditemukan bahwasanya dalam seminggu seseorang melakukan kebohongan
antara 0 atau tidak sama sekali, sampai 46 kali kebohongan. Artinya ada
orang yang melakukan kebohongan rata-rata sampai 6 kali dalam sehari.
Penelitian itu juga menemukan bahwa masyarakat umumnya melakukan
kebohongan minimal 1 kali dalam satu hari interaksi dengan orang lain.
Mahasiswa melakukan rata-rata 2 kebohongan setiap hari. Mereka berbohong
1 kali dalam setiap 3 kali interaksi. Artinya sepertiga interaksi yang
dilakukan mengandung kebohongan. Luar biasa bukan?!
Tentunya ada alasan mengapa bohong secara masif dilakukan, bahkan
oleh semua kelompok umur. Satu yang pasti adalah karena bohong
menguntungkan, baik bagi pelakunya maupun bagi kehidupan sosial.
Keuntungan bagi pelaku kebohongan sangat jelas, entah itu untuk
keuntungan psikis maupun keuntungan material. Dalam interaksi sosial,
bohong menjadi sarana bagi seseorang untuk melakukan manajemen kesan,
mengatur emosi, dan memberikan dukungan sosial. Lalu apa keuntungan bagi
kehidupan sosial?
Kebohongan dalam masyarakat rupa-rupanya menjaga terciptanya
lingkungan sosial yang erat. Bohong merupakan perantara bagi banyak
orang untuk menunjukkan dukungan sosial kepada yang lainnya. Pada saat
kesusahan, berbagai basa basi menunjukkan perhatian dan keprihatinan,
yang tentunya banyak mengandung kebohongan, diucapkan. Tidak lain untuk
menunjukkan adanya saling dukung dalam masyarakat. Dan semua orang
mahfum belaka adanya kebohongan itu.
Bohong juga dilakukan untuk menciptakan keteraturan dan menjamin
bahwa tata krama dalam masyarakat diterapkan. Bayangkan, jika seseorang
selalu mengatakan apa adanya pendapat pribadinya pada orang lain, maka
yang ada hanyalah geger sosial. Apa mungkin Anda mengatakan jelek anak
tetangga Anda yang memang jelek, di depan orangtuanya? Lha, kalau
mengatakan begitu Anda bakal tidak punya teman. Semua tetangga bakal
menghindari Anda.
Keramahtamahan jangan-jangan juga sering dihiasi ketidakjujuran.
Mempersilakan mampir seseorang, padahal hati tidak ingin orang itu
mampir, hal biasa bukan? Tapi toh setiap orang telah mahfum, bahwa
ramah-tamah semacam itu, tidaklah bermaksud sungguhan, sehingga ya
menolak. Jikalau menerima tawaran untuk mampir, malah mungkin dianggap
kurang ajar.
Apakah ada hubungan kebohongan dengan bentuk masyarakat tertentu?
Tidak ada masyarakat yang pernah diketahui, yang sama sekali terbebas
dari bohong. Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua bentuk
masyarakat yang ada di dunia ini, terdapat perilaku bohong diantara
anggota-anggotanya. Mengapa demikian?
Pertama, bohong tumbuh pada masyarakat yang memiliki perbedaan
kelas-kelas sosial. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang menjadi
atasan, ada yang menjadi bawahan. Ada yang berkuasa ada yang tidak, dan
seterusnya. Selama ada kelas-kelas sosial tersebut, adalah muskil untuk
meniadakan kebohongan. Kelas sosial berimplikasi pada munculnya beragam
tata krama untuk menyesuaikan perilaku dengan kelas-kelas sosial yang
ada. Seseorang dari kelas sosial rendah diharapkan berbeda dalam
bersikap dan berperilaku menghadapi kelas sosial yang setara maupun yang
lebih tinggi. Seorang bawahan diharapkan akan berbeda cara dalam
menghadapi sesama bawahan dengan menghadapi atasan. Persetujuan lebih
sering diberikan kepada atasan.
Perbedaan kelas sosial menunjukkan adanya hirarki. Seseorang yang
lebih baik dari segi apapun, baik itu harta, pengetahuan, penampilan
atau lainnya, tentu akan menempati hirarki lebih tinggi dibandingkan
yang lain. Nah, agar seseorang menempati posisi lebih tinggi dalam
hirarki maka orang-orang berupaya melakukan manajemen kesan supaya
terlihat lebih baik.
Kedua, bohong tumbuh pada masyarakat yang relasi sosialnya terdapat
dominasi. Seseorang tentu akan menghadapi yang lebih berkuasa dengan
cara berbeda dengan ketika menghadapi yang kurang berkuasa. Jika Anda
selalu membangkang yang berkuasa, bukankah Anda akan mendapat kesulitan?
Pada saat seorang anak berbohong pada orangtuanya, tidak lain karena
orangtua mempunyai dominasi kekuasaan. Sang anak khawatir akan
mendapatkan hukuman dari orangtua jika mengatakan kebenaran, dan oleh
karena itu diungkapkanlah kebohongan. Pada saat Anda berbohong pada
penagih hutang, bukankah karena dalam hubungan itu, si penagih hutang
adalah pihak yang dominan?
Ketiga, bohong tumbuh pada masyarakat yang mengajarkan kepatuhan.
Setiap kepatuhan diharapkan maka juga melahirkan kebohongan. Pada
masyarakat dimana tata aturan norma sangat berat dan dimana pelanggaran
dijatuhi hukuman berat, bukankah menjadi wajar jika melakukan kebohongan
untuk menghindari kesulitan?
Adakah bentuk masyarakat tanpa kebohongan? Pertanyaannya justru
adakah masyarakat yang benar-benar setara, dimana tidak ada kelas
sosial, tidak ada relasi yang mendominasi, tidak ada tata aturan norma
yang mengikat kepatuhan? Sebab hanya masyarakat yang setara yang bisa
menghindarkan terjadinya kebohongan.
Terdapat satu lagi bentuk masyarakat yang memungkinkan memunculkan
perilaku bohong lebih sering, yakni masyarakat yang mengharapkan
anggota-anggotanya menunjukkan perhatian lebih besar dalam bentuk
dukungan sosial, dukungan emosional atau kepedulian. Pada bentuk
masyarakat yang mengajarkan moral demikian itu, maka anggota-anggotanya
akan berusaha sedapat mungkin mewujudkannya meskipun dalam bentuk
kebohongan. Bukankah Anda akan disebut kurang ajar jika pada saat ada
kematian tetangga, Anda menyetel musik keras-keras?! Bahkan meskipun
Anda tidak turut berduka, Anda toh tetap harus menunjukkan perilaku
berduka.
Budaya masyarakat Indonesia yang banyak menempatkan sopan santun dan
unggah-ungguh atau tata krama dalam pergaulan memberikan pengaruh
terhadap perilaku bohong. Misalnya budaya jawa yang melarang anak
mengatakan tidak pada orangtuanya meskipun tidak menjalankan apa yang
diperintahkan, jelas mendorong terjadinya perilaku bohong. Pada saat
atasan Anda meminta Anda mencoba masakan buatannya, apakah Anda akan
mengatakan tidak enak, meskipun Anda merasakannya tidak enak? Anda hanya
diharuskan untuk mengatakan enak, meski toh sang atasan cukup menyadari
bahwa masakannya memang tidak enak. Jadi, sebenarnya tidak ada ruginya
mengatakan apa adanya. Tapi ya itu, demi tata krama, maka bohong
mengatakan enak adalah yang paling lazim dilakukan.
Apakah bohong bisa dibenarkan secara moral?
Nyaris semua panduan moral, baik yang berasal dari ajaran agama, adat
maupun konvensi bersama, menyebutkan bahwa kebohongan sebagai perilaku
tidak bermoral. Tidak ada yang menganjurkan kebohongan. Bentuk
masyarakat yang dicita-citakan setiap agama adalah bentuk masyarakat
yang dipenuhi kejujuran. Akan tetapi jika kebohongan memang tidak
bermoral, mengapa kebohongan sedemikian luas dilakukan? Jawaban yang
bisa diberikan barangkali karena berbohong memang memberikan banyak
manfaat kepada pelakunya.
Panduan agama, dalam hal ini saya mengambil contoh Islam, tidak
secara tegas melarang semua bentuk kebohongan. Ada kebohongan yang sama
sekali dilarang, namun ada juga kebohongan yang diperbolehkan. Ini
berarti meskipun kebohongan dinilai tidak memenuhi nilai moral, tapi ia
sudah merupakan fakta sosial sehari-hari, yang oleh karenanya tidak
mutlak dilarang. Islam bahkan memberikan panduan mengenai bohong-bohong
apa saja yang diperbolehkan. Artinya pula, seseorang dianggap berbohong
akan sangat tergantung situasi etiknya.
Hanya ada dua kategori kebohongan yang tidak ditoleransi dalam Islam,
yakni berbohong mengingkari Allah SWT dan berbohong mengingkari Nabi
Muhammad SAW. Selebihnya bisa ditoleransi tergantung konteksnya.
Beberapa jenis kebohongan yang diijinkan dalam Islam adalah :
- Menyelamatkan seseorang
- Memberi efek terhadap perdamaian atau rekonsiliasi konflik
- Dalam situasi melakukan perjalanan dimana jika jujur akan membahayakan perjalanan.
Permakluman yang diberikan kepada perilaku bohong sangat beragam
tergantung konteksnya. Membohongi seribu rupiah pada orang kaya akan
lebih dimaklumi ketimbang membohongi 1000 rupiah pada anak yatim.
Masyarakat akan sangat mengecam mereka yang membohongi anak yatim, tapi
justru bisa jadi malah memuji mereka yang berhasil membohongi orang
kaya. Bohongnya anak-anak biasanya juga jauh lebih dimaklumi daripada
bohongnya orang dewasa. Jadi, kebohongan sebetulnya sesuatu yang sangat
liat. Kadang dimaklumi, kadang dikecam tergantung konteksnya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Entri Populer
-
Pantun Minangkabau Keratau madang di hulu Berbuah berbunga belum Merantau bujang dahulu Di rumah berguna belum Ke pekan sekali ini Entah...